Sisi lain malam kota seribu sungai, saat semua orang terlelap dalam
buaian malam dan menikmati setiap dengkuran mereka serta mimpi-mimpi
yang tercipta, nampak seorang pemuda yang masih terjaga di sebuah kost
yang berada di tengah kota, sosok pemuda ini kira-kira umurnya sekitar
23 tahunan dengan postur tubuh besar, kulit sawo matang, rambut agak
keriting namun menjulang keatas, pemuda itu bernama Abuya yang bermakna
abah, ayah, bapak. Ketika orang tuanya memberikan nama itu berharap
suatu saat anaknya menjadi orang yang di tuakan dan di segani sehingga
mampu memberikan petuah yang bijak.
Jam sudah menunjukkan jam
02.00 wita Abuya belum bisa memejamkan matanya, hampir sebulan sudah
insomnia menyerangnya. Sudah beberapakali Abuya mencoba
mengistirahatkan tubuhnya yang sudah nampak lemah. Tapi, matanya tetap
tak mau diajak kompromi dia terus terjaga. Abuyapun mencoba melakukan
hal-hal yang menurut riset bisa membuat ngantuk dari membaca buku
sampai melakukan olahraga malam tapi kantuk itu tak jua kunjung datang,
matanya terus melek seperti mercusuar yang terus menerangi pesisir
pantai.
Sekitar jam 03.00 wita Abuya pun mulai didera rasa kantuk,
dia mulai memejamkan mata dan berharap dapat istirahat, selang beberapa
menit dia pun terlelap dalam selimut malam. Sosok perempuan itu datang
lagi dalam mimpinya, seperti hari-hari sebelumnya ketika Abuya mulai
tertidur, sosok bidadari malam itupun muncul dan mengajak Abuya
berfantasi dengan gairah memuja serta mendamba di alam angan dan
khayal, tak henti-henti ia memberikan semua impian yang tertancap dalam
di relung hati yang selama ini kosong. Khayal pun terus menerawang jauh
bersamanya, melintasi nirwana memadu kasih yang selama ini terpendam
dalam. Tiba-tiba mimpi itu hilang bersama gema suara adzan yang
membahana menggetarkan semesta raya, Abuya pun segera bangkit dan
menunaikan kewajiban menghadap sang khaliq.
Pagi ini terasa sejuk,
butiran-butiran bening menetes dari dedaunan yang mendendangkan
syair-syair keindahan duniawi, kebiasaan Abuya di pagi hari duduk di
kursi beranda kost ditemani secangkir kopi panas dan koran untuk
sekedar menikmati keindahan pagi, selang beberapa saat Abuya mulai
terpaku dalam dekapan kebingungan akan mimpi-mimpinya belakangan ini,
sosok perempuan itu yang mulai bersarang di benaknya. “Siapa dia?”
Tanya Abuya dalam batin. ”Mungkinkah dia adalah bidadari yang
diciptakan tuhan buatku? Atau hanya bunga tidur dan rayuan syetan agar
ku terus terlelap dalam buaian malam?”.
Pertanyaan itu terus
menggerogoti otaknya hingga Abuya pun tak sadar kalau matahari sudah
mulai menampakkan keperkasaannya, cahaya tajamnya mulai menyilaukan
mata. Dilliriknya jam tangan dimana jarum pendeknya sudah menunjukkan
angkanya 08.30 wita “sudah siang” gumamnya, perlahan Abuya beranjak
menuju kamar untuk bersiap-siap menghadiri pelatihan wira usaha muda
yang diadakan oleh senat di fakultas, kebetulan Abuya dan sahabat
terbaiknya Zaid menjadi pembicara pada kegitan tersebut. Zaid adalah
sahabat karib bahkan bisa dibilang saudara di kota ini, mereka berteman
dan mengikrarkan persaudaraan sejak pertama kali melangkahkan kaki di
perguruan tinggi, mereka satu fakultas namun beda jurusan, dimana ada
Abuya disitu ada Zaid, begitu juga sebaliknya. Orang-orang sering
menyebut mereka si kembar di belah kampak hohoho
Selang 15 menit
Abuya pun sudah siap dengan style mirip pejabat kantoran, memakai jaket
cokelat model jas kesayangan serta gaya rambut disisir kesamping kanan,
ditatapnya cermin yang ada di kamar itu sembari tersenyum, “ya… aku
sadar ternyata gaya ku agak nyentrik juga? hehe. Daripada pake gamis,
kepala plontos, pake kacamata item? Syeikh Pudji dong! Bangeeeet…”
Abuya
bergegas menuju ruang tamu, duduk di kursi untuk memasang kaos kaki
lusuh yang sudah satu semester tidak dicuci. Disempatkannya menyeruput
sesuap mie kuah yang terhidang di meja. Tiba-tiba Abuya dikagetkan
sebuah suara pekikan dari dapur. “Abang! Mie punya ku itu!!!” Ternyata
Ifat. Dia pun tertawa geli. “baru sedikit, tu kuahnya masih banyak”.
Ifat tersenyum sambil menghirup teh yang tadi dibawanya dari dapur.
“Rapi
adul Bang?” Ifat memandangi detail tubuh Abuya dari ujung celana sampai
ujung kerah. “Adul dibawa-bawa, komeng, olga ma luna nggak ikut??? ajak
aja sekalian biar rame”, Abuya berujar menyambung candanya.
“Gokil
loe bang! Gue suk suk suk suka gaya loe!!!” Oceh Ifat dengan gaya
rapper khasnya, Ifat emang tergolong anak yang gaulisme apa-apa selalu
bergaya rapper, berbeda dengan kakaknya si Zaid yang agak pendiam dan
terkesan agak jadul.
“Dasar balita! Hehe. Fat, abang berangkat dulu!
Ntar kalau ada yang cari sebelum kamu berangkat bilang abang lagi di
kampus ada acara”. “oke lah kalau beg beg beg begitu!!!” jawabnya.
“Mana si om Zaid???” Abuya bertanya, “masih diatas bang! Biasalah,
telponan ma ka Laila tunangannya!”. ”tolong panggilkan geh???” pinta
Abuya, “siap, komandan!!!”Jawab Ifat. Bibirku pun tak henti-hentinya
menyunggingkan senyum karena ulahnya. Mata Abuya terus memandang lekat
kearah Ifat yang mulai berlalu dari hadapannya menaiki tangga setapak
demi setapak dengan sigap untuk memanggil Zaid di tingkat dua. Kost
Abuya memang bertingkat dua dengan berkonstruksi dasar kayu ulin, di
kota Abuya tinggal rata-rata rumah berkonstruksi kan dari bahan kayu
ulin namun sekarang kayu ini termasuk langka karena pembalakan liar.
Kost
terasa bergetar, sinyal bahwa Zaid keluar dari kamarnya. Maklum
tubuhnya gempal bak petinju kelas beraaat buanget. terdengar hentakan
kaki menuruni tangga diiringi lantunan syair lagu Laila canggung.
“Cieeee,
bahagia terus nih…” Ku goda dia. “Ya iyalah, ada apaan Bah?” Ujar Zaid.
Begitulah sapaan akrab Abuya. Di Kost dia biasa dipanggil dengan
sebutan Abah. Sebutan itu di karenakan Abuya menjadi kepala keluarga di
kost ini, semua yang berkenaan dengan kemaslahatan umat kost dialah
yang mengatur dari keuangan hingga urusan dapur. “Kayanya penting
banget? Mau bayar utang ya? Tidak usah difikirkan…hehe”. Canda Zaid.
“Utang
dari Tiongkok? Hehe”. Ya, begitulah mereka. 90% omongan mereka tidak
bisa serius. “Sudah siap belum?”. “Gila, mandi aja belum Bah…” Zaid
menggaruk-garuk kepalanya dengan hp yang dari tadi digenggamnya.
“Biasanya juga tak mandi, cepetan! Kita ditungguin anak-anak di
kampus.” Desaknya. “Ya sudah, tunggu bentar ya mau cuci gigi dulu” Zaid
cengengesan sambil lari kebelakang.
Setelah Zaid selesai cuci gigi
dan gosok muka, mereka pun berangkat ke kampus dengan menaiki motor New
Ninja milik Zaid, motor pun melaju kencang sekitar sepuluh menit mereka
pun sudah sampai di kampus.
Sebelum bergabung dengan panitia yang
lain, mereka mampir dulu ke cafeteria untuk mengisi perut yang sedari
tadi para penghuninya berdemo meminta nafkahnya. Mereka pun langsung
memesan makanan dan minuman kegemaran mereka.
Selang beberapa saat
makanan itupun datang Zaid langsung menyambar dan melahap makanannya
tanpa menghiraukan orang di sekeliling. “di uber orang sekampung ya om,
makannya ngga sabaran gitu???” celetuk Abuya. “he he he habis laper
banget? Naga dalam perut ku ngga sabar lagi bah!!!”. Ujarnya. Abuya
hanya bisa tersenyum melihat kelakuan sahabatnya, ketika sedang asyik
makan tak sengaja matanya menangkap sesosok makhluk yang berada di
salah satu meja di ujung sana, Abuya tertegun dan terpaku hingga tak
bisa berbuat apa-apa “masya allah, maha sempurnanya tuhan menciptakan
dia perempuan yang selama ini hadir dan menghantui malam-malamku”
gumamnya. “ada apa bah?” Tanya Zaid yang tak begitu jelas mendengar
gumamnya. “tak ada apa-apa”. Abuya berkilah. Diapun kembali mencuri
pandang pada sosok perempuan diam-diam diperhatikannya tingkah polah
perempuan itu, kedipan matanya yang begitu manja, cara berbicaranya
yang lembut, gerak tubuhnya yang gemulai terlebih pada tatapan mata
sang perempuan begitu tajam dan memancarkan ketenangan sehingga
siapapun yang menatapnya akan terpaku tak berdaya seperti Abuya. Cukup
lama Abuya memandangi perempuan itu hingga tak terasa perempuan itu
berlalu dari hadapannya.
Setelah perempuan itu berlalu dari
hadapannya, Abuyapun kembali kealam sadarnya. Hatinya kembali berkata
“gila aku mimpi atau tidak bertemu dengannya”. Abuya pun menyimpan rasa
yang begitu dalam dan dia berniat harus mengetahui siapa namanya, dan
berusaha untuk mendapatkannya.
Di ruangan senat para panitia sedang
asyik dengan kesibukan masing-masing, ada yang menyiapkan berkas,
ngetik surat, menyiapkan konsumsi, bahkan ada juga yang ketiduran
karena kelelahan menyiapkan semuanya. Sedangkan di ruangan rapat
peserta sedang menerima materi dari pembicara yang lain.
Dengan
gaya khasnya Abuya menyapa semua panitia yang dan langsung di sambut
antusias oleh semua panitia maklum dia seorang yang berpengaruh di
kalangan aktifis kampus. Seraya menunggu giliran menjadi pembicara
mereka pun bergabung dan tenggelam dalam kesibukan bersama komunitas
intelektual itu.
***
Marsya, wanita indo blesteran Belanda dan
Banjar yang berumur 20 tahunan, berperawakan tinggi semampai, berkulit
kuning langsat, bulu mata lentik dan memiliki ciri khas poni yang
keluar dari jilbabnya. (Gaya ini lagi trend di kampus saya bu!!!!)
Dulu
Marsya memiliki kekasih hati yang bernama Rendy, namun sekitar satu
tahun yang lalu Rendy meninggal dunia ketika kecelakaan saat balapan
liar, semenjak kepergian Rendy, Marsya telah menutup rapat-rapat pintu
hatinya untuk laki-laki lain, banyak sudah para pemuja cinta mencoba
menawarkankan sejuta asa dan berharap mampu membuka gembok hatinya
namun tak ada satupun yang berhasil membuka gembok itu. Dia bertekad
pintu hatinya hanya dapat di buka oleh orang yang benar-benar halal
menjadi kekasihnya kelak.
Namun keragu-raguan mulai bersarang di
hatinya dalam benaknya selalu muncul pertanyaan yang membelenggu
pendiriannya “apakah dia mampu untuk menjalani hari-hari sunyinya, saat
sedih siapa yang akan menghiburnya, saat terjatuh siapa yang bakal
membangunkannya, pada siapa dia akan bersandar ketika lelah, pada siapa
dia mengadu saat ada masalah?”.
Di tepisnya keraguan itu dengan
mengingat pesan orang tuanya saat dia mau berangkat studi ke kota
seribu sungai. ”dengar lah anakku ada orang yang menyayangi mu tapi
bukan kekasih mu, mereka perhatian pada kamu tapi bukan dari keluarga
mu, mereka siap berbagi sakit tapi mereka tak berhubungan darah dengan
mu, mereka adalah sahabat, maka itu anak ku carilah sehabat
sebanyak-banyaknya!!!. Karena sahabat sejati marah bila kau salah
seperti ayah, peduli seperti ibu, perhatian seperti kakak, mengesalkan
seperti adik, maka orang bijak selalu memenuhi kehidupannya dengan
persahabatan!.”. pesan itulah yang membuatnya tegar dalam menjalani
hari-hari yang kelam.
Sebagai mahasiswa baru Marsya melewati
hari-harinya dikampus dengan berjalan-jalan mengelilingi kampus. Agar
Marsya lebih mengenal seluk beluk tempat kuliahnya, Marsya mengelilingi
tak sendirian dia bersama personel “Kucau’’ lainnya. “Kucau” adalah
nama geng Marsya dan teman-temannya yang personelnya terdiri dari Nida,
Lia, dan Dita. Kucau kepenjangan dari kucing hijau, karena semua
personel ini memiliki bintang peliharaan kucing dan warna favorit
mereka adalah hijau selain itu juga mereka berasal dari daerah aliran
sungai barito dan sekolah yang sama. Genk ini terbentuk tiga tahun
silam saat mereka sama-sama memasuki sekolah tingkat atas, karena
kegemaran dan hobby mereka yang sama maka terikrarlah sebuah
kesepakatan untuk membentuk geng.
Setelah puas berkeliling geng
“kucau” pun menuju cafeteria kampus untuk melepas lelah dan sekedar
mengisi tenggorokan yang kering kelontang. Mereka asyik bercanda ria
sesekali terdengar riuh gelak tawa mereka.
Di tengah bercanda ria
tak sengaja mata Marsya menangkap dua sosok pemuda menuju cafeteria
dari kejauhan, sejenak Marsya tertegun karena salah satu pemuda itu
memiliki fisik yang sama dengan Rendy mantan kekasihnya yang telah
menutup mata dari pustor tubuhnya hingga gaya jalannya yang gagah
perkasa laksana gatot kaca dalam tokoh pewayangan. “hey! Apa yang kau
lamunankan?” tegur Nida salah satu personel genk “Kucau” terkenal agak
centil dan bawel. “Kalian liat dua pemuda yang sedang berjalan kearah
cafeteria ini?”. Jawab Marsya.
“yang mana, yang gemuk-gemuk itu ya?”
kata Lia yang terkenal biang gosip.“ Lia seraya mengamati dua pemuda
yang begitu gagah perkasa apalagi kalau di masukkan dalam karung beras,
“nggak baik ngataen orang! Apa Benar yang itu sya?” tukas Dita ikut
bicara. Gadis ini tutur bahasanya lemah lembut namun kental dengan
bahasa daerahnya kebalikan dari Lia dan Nida yang agak bawel. “iya
mereka itu!” jawaba Marsya. “ada apa dengan mereka sya?” Tanya Lia
penasaran. “coba kalian perhatikan pemuda yang memakai jaket cokelat
itu, dia mirip sekali dengan Rendy. Cara berpakainnya, jalannya, bahkan
wajahnya pun mirip sekali dengan Rendy!”. Jawab Marsya lunglai. “sudah
lah sya, itu mungkin hanya perasaan kamu saja. kami tau kamu sangat
mencintai Rendy tapi Rendy sudah tiada, biarkan dia tenang di alam
sana,” Dita member nasehat pada Marsya. “iya sya, kami turut perihatin
akan kisah cintamu, sekarang lebih baik kita senang-senang iyakan
cin!!” Nida juga ikut beri nasehat.
Mereka kembali tenggelam dalam
canda dan riuh gelak tawa mereka pun kembali menggelegar di seluruh
ruangan cafeteria. Namun diam-diam Marsya terus memperhatikan pemuda
tadi hingga tak terasa waktu berlalu, tanpa terasa jam cafeteria sudah
menunjukkan 11.00 wita, mereka pun beranjak pergi dari cafeteria menuju
ruang perkuliahan yang terletak di ujung fakultas untuk mengikuti
perkuliahan berikutnya.
Ketika berjalan di depan meja pemuda itu
mata Marsya terus melirik halus dan dalam seraya tanpa sepengetahuan
siapa pun, bahkan pemuda itu pun tak tahu padahal pemuda itu juga
memperhatikan Marsya sedari tadi.
***
Shinta, wanita yang memakai
jilbab besar dan pakaian lebar yang selalu menutupi seluruh tubuhnya
memiliki perawakan mungil dan imut kulitnya yang putih dan memiliki
mata sipit serta bibir tipis. mengingatkan pada sosok bidadari surga
yang dijanjikan tuhan bagi orang yang memandangnya. Ternyata diam-diam
sudah lama mengagumi Abuya sejak pertama kali mengenal pemuda itu.
Perkenalan yang singkat namun berbekas di dalam hatinya. Perkenalan
sekitar 6 bulan yang lewat itu diawali ketika Abuya menjadi pembicara
pada diskusi pinggiran dimana Shinta menjadi ketua pelaksana pada
kegiatan itu, setelah bertukaran nomer handphone. Komunikasi pun
terjalin erat dan kuat, Shinta sering curhat dari masalah organisasi
sampai masalah pribadi.
Nasehat-nasehat Abuya sangat mudah di cerna
oleh nalar logis Shinta, cara penyampaian Abuya pun begitu halus dan
lembut serta bijaksana, perhatian pemuda itu pun begitu besar
kepadanya. Sehingga Shinta merasa nyaman dengan pemuda itu.
Hasrat
Shinta begitu besar untuk memiliki Abuya, apapun selalu di lakukannya
untuk menarik simpati pemuda itu, terkadang dia begitu cemburu ketika
melihat Abuya dengan wanita lain meski itu hanya teman dekat Abuya atau
adik-adik joniurnya. Mungkin bagi Abuya mungkin Shinta hanya dunia tapi
baginya Abuya adalah Dunianya.
Shinta tak berani mengutarakan
perasaannya karena dia mempunyai prinsip lelaki lah yang harus
mengutarakan dan menjemput pasangannya terlebih dahulu bukan wanita
yang harus mengutarakan perasaannya. Namun prinsip ini malah
membelenggu dirinya dalam sebuah permainan intuisi hati.
Jam
menunjukkan 02.00 wita Shinta bergegas bangun dari peraduannya jalannya
terkadang tersiuk-tersiuk dan pandangan nanar menuju kamar mandi karena
kantuk, namun dia terus berjalan memantapkan hati untuk mengambil air
wudhu, setelah mencuci muka dan menggosok gigi Shinta pun mengambil air
wudhu pertama di awali dengan membasuh muka, kemudian kedua tangan,
rambut, telinga terakhir membasuh kaki di resapinya setiap siraman air
yang mengalir ke bagian tubuhnya.
Kebiasaan Shinta di perempat
malam adalah melakukan shalat malam, dalam do’anya tersirat nama Abuya.
Dititipkan cinta dan rindunya pada sang pencipta hati, dia terus
meminta dan mengemis pada sang pembolak-balik hati agar Abuya terbuka
dan mau mengutarakan cinta padanya dan dia meminta agar Abuya tercipta
hanya untuknya meski dia sadar bahwa dirinya terlalu egois untuk
memiliki Abuya namun dia tak tahu lagi pada siapa dia harus meminta
selain kepada yang maha kuasa.
“ya rabb, cinta dan rindu ini terlalu
besar hingga tak sanggup hamba bendung, hamba hanya makhluk lemah yang
tak berdaya oleh cinta, jika hamba memang tercipta dari tulang rusuk
Abuya, satukan ya Allah, jangan pisahkan kami, tapi jika hamba bukan
miliknya segera jauhkan. Agar hamba tak lagi mengataskan cinta di atas
cinta MU ya rabb!!! Hamba titipkan cinta rindu di dada ini pada Mu”
pinta Shinta. Tak terasa butiran-butiran bening mengalir melewati
pipinya dan mulai jatuh berkeping-keping menyentuh sajadah merah yang
di berikan ibunya. Selain berdo’a untuk Abuya tak lupa juga iya
mendo’akan orang tuanya yang begitu ia sayangi.
***
(bersambung.....................................)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar