Sisi lain malam kota seribu sungai, saat semua orang terlelap dalam
buaian malam dan menikmati setiap dengkuran mereka serta mimpi-mimpi
yang tercipta, nampak seorang pemuda yang masih terjaga di sebuah kost
yang berada di tengah kota, sosok pemuda ini kira-kira umurnya sekitar
23 tahunan dengan postur tubuh besar, kulit sawo matang, rambut agak
keriting namun menjulang keatas, pemuda itu bernama Abuya yang bermakna
abah, ayah, bapak. Ketika orang tuanya memberikan nama itu berharap
suatu saat anaknya menjadi orang yang di tuakan dan di segani sehingga
mampu memberikan petuah yang bijak.
Jam sudah menunjukkan jam 02.00 wita Abuya belum bisa memejamkan matanya, hampir sebulan sudah insomnia menyerangnya. Sudah beberapakali Abuya mencoba mengistirahatkan tubuhnya yang sudah nampak lemah. Tapi, matanya tetap tak mau diajak kompromi dia terus terjaga. Abuyapun mencoba melakukan hal-hal yang menurut riset bisa membuat ngantuk dari membaca buku sampai melakukan olahraga malam tapi kantuk itu tak jua kunjung datang, matanya terus melek seperti mercusuar yang terus menerangi pesisir pantai.
Sekitar jam 03.00 wita Abuya pun mulai didera rasa kantuk, dia mulai memejamkan mata dan berharap dapat istirahat, selang beberapa menit dia pun terlelap dalam selimut malam. Sosok perempuan itu datang lagi dalam mimpinya, seperti hari-hari sebelumnya ketika Abuya mulai tertidur, sosok bidadari malam itupun muncul dan mengajak Abuya berfantasi dengan gairah memuja serta mendamba di alam angan dan khayal, tak henti-henti ia memberikan semua impian yang tertancap dalam di relung hati yang selama ini kosong. Khayal pun terus menerawang jauh bersamanya, melintasi nirwana memadu kasih yang selama ini terpendam dalam. Tiba-tiba mimpi itu hilang bersama gema suara adzan yang membahana menggetarkan semesta raya, Abuya pun segera bangkit dan menunaikan kewajiban menghadap sang khaliq.
Pagi ini terasa sejuk, butiran-butiran bening menetes dari dedaunan yang mendendangkan syair-syair keindahan duniawi, kebiasaan Abuya di pagi hari duduk di kursi beranda kost ditemani secangkir kopi panas dan koran untuk sekedar menikmati keindahan pagi, selang beberapa saat Abuya mulai terpaku dalam dekapan kebingungan akan mimpi-mimpinya belakangan ini, sosok perempuan itu yang mulai bersarang di benaknya. “Siapa dia?” Tanya Abuya dalam batin. ”Mungkinkah dia adalah bidadari yang diciptakan tuhan buatku? Atau hanya bunga tidur dan rayuan syetan agar ku terus terlelap dalam buaian malam?”.
Pertanyaan itu terus menggerogoti otaknya hingga Abuya pun tak sadar kalau matahari sudah mulai menampakkan keperkasaannya, cahaya tajamnya mulai menyilaukan mata. Dilliriknya jam tangan dimana jarum pendeknya sudah menunjukkan angkanya 08.30 wita “sudah siang” gumamnya, perlahan Abuya beranjak menuju kamar untuk bersiap-siap menghadiri pelatihan wira usaha muda yang diadakan oleh senat di fakultas, kebetulan Abuya dan sahabat terbaiknya Zaid menjadi pembicara pada kegitan tersebut. Zaid adalah sahabat karib bahkan bisa dibilang saudara di kota ini, mereka berteman dan mengikrarkan persaudaraan sejak pertama kali melangkahkan kaki di perguruan tinggi, mereka satu fakultas namun beda jurusan, dimana ada Abuya disitu ada Zaid, begitu juga sebaliknya. Orang-orang sering menyebut mereka si kembar di belah kampak hohoho
Selang 15 menit Abuya pun sudah siap dengan style mirip pejabat kantoran, memakai jaket cokelat model jas kesayangan serta gaya rambut disisir kesamping kanan, ditatapnya cermin yang ada di kamar itu sembari tersenyum, “ya… aku sadar ternyata gaya ku agak nyentrik juga? hehe. Daripada pake gamis, kepala plontos, pake kacamata item? Syeikh Pudji dong! Bangeeeet…”
Abuya bergegas menuju ruang tamu, duduk di kursi untuk memasang kaos kaki lusuh yang sudah satu semester tidak dicuci. Disempatkannya menyeruput sesuap mie kuah yang terhidang di meja. Tiba-tiba Abuya dikagetkan sebuah suara pekikan dari dapur. “Abang! Mie punya ku itu!!!” Ternyata Ifat. Dia pun tertawa geli. “baru sedikit, tu kuahnya masih banyak”. Ifat tersenyum sambil menghirup teh yang tadi dibawanya dari dapur.
“Rapi adul Bang?” Ifat memandangi detail tubuh Abuya dari ujung celana sampai ujung kerah. “Adul dibawa-bawa, komeng, olga ma luna nggak ikut??? ajak aja sekalian biar rame”, Abuya berujar menyambung candanya.
“Gokil loe bang! Gue suk suk suk suka gaya loe!!!” Oceh Ifat dengan gaya rapper khasnya, Ifat emang tergolong anak yang gaulisme apa-apa selalu bergaya rapper, berbeda dengan kakaknya si Zaid yang agak pendiam dan terkesan agak jadul.
“Dasar balita! Hehe. Fat, abang berangkat dulu! Ntar kalau ada yang cari sebelum kamu berangkat bilang abang lagi di kampus ada acara”. “oke lah kalau beg beg beg begitu!!!” jawabnya. “Mana si om Zaid???” Abuya bertanya, “masih diatas bang! Biasalah, telponan ma ka Laila tunangannya!”. ”tolong panggilkan geh???” pinta Abuya, “siap, komandan!!!”Jawab Ifat. Bibirku pun tak henti-hentinya menyunggingkan senyum karena ulahnya. Mata Abuya terus memandang lekat kearah Ifat yang mulai berlalu dari hadapannya menaiki tangga setapak demi setapak dengan sigap untuk memanggil Zaid di tingkat dua. Kost Abuya memang bertingkat dua dengan berkonstruksi dasar kayu ulin, di kota Abuya tinggal rata-rata rumah berkonstruksi kan dari bahan kayu ulin namun sekarang kayu ini termasuk langka karena pembalakan liar.
Kost terasa bergetar, sinyal bahwa Zaid keluar dari kamarnya. Maklum tubuhnya gempal bak petinju kelas beraaat buanget. terdengar hentakan kaki menuruni tangga diiringi lantunan syair lagu Laila canggung.
“Cieeee, bahagia terus nih…” Ku goda dia. “Ya iyalah, ada apaan Bah?” Ujar Zaid. Begitulah sapaan akrab Abuya. Di Kost dia biasa dipanggil dengan sebutan Abah. Sebutan itu di karenakan Abuya menjadi kepala keluarga di kost ini, semua yang berkenaan dengan kemaslahatan umat kost dialah yang mengatur dari keuangan hingga urusan dapur. “Kayanya penting banget? Mau bayar utang ya? Tidak usah difikirkan…hehe”. Canda Zaid.
“Utang dari Tiongkok? Hehe”. Ya, begitulah mereka. 90% omongan mereka tidak bisa serius. “Sudah siap belum?”. “Gila, mandi aja belum Bah…” Zaid menggaruk-garuk kepalanya dengan hp yang dari tadi digenggamnya. “Biasanya juga tak mandi, cepetan! Kita ditungguin anak-anak di kampus.” Desaknya. “Ya sudah, tunggu bentar ya mau cuci gigi dulu” Zaid cengengesan sambil lari kebelakang.
Setelah Zaid selesai cuci gigi dan gosok muka, mereka pun berangkat ke kampus dengan menaiki motor New Ninja milik Zaid, motor pun melaju kencang sekitar sepuluh menit mereka pun sudah sampai di kampus.
Sebelum bergabung dengan panitia yang lain, mereka mampir dulu ke cafeteria untuk mengisi perut yang sedari tadi para penghuninya berdemo meminta nafkahnya. Mereka pun langsung memesan makanan dan minuman kegemaran mereka.
Selang beberapa saat makanan itupun datang Zaid langsung menyambar dan melahap makanannya tanpa menghiraukan orang di sekeliling. “di uber orang sekampung ya om, makannya ngga sabaran gitu???” celetuk Abuya. “he he he habis laper banget? Naga dalam perut ku ngga sabar lagi bah!!!”. Ujarnya. Abuya hanya bisa tersenyum melihat kelakuan sahabatnya, ketika sedang asyik makan tak sengaja matanya menangkap sesosok makhluk yang berada di salah satu meja di ujung sana, Abuya tertegun dan terpaku hingga tak bisa berbuat apa-apa “masya allah, maha sempurnanya tuhan menciptakan dia perempuan yang selama ini hadir dan menghantui malam-malamku” gumamnya. “ada apa bah?” Tanya Zaid yang tak begitu jelas mendengar gumamnya. “tak ada apa-apa”. Abuya berkilah. Diapun kembali mencuri pandang pada sosok perempuan diam-diam diperhatikannya tingkah polah perempuan itu, kedipan matanya yang begitu manja, cara berbicaranya yang lembut, gerak tubuhnya yang gemulai terlebih pada tatapan mata sang perempuan begitu tajam dan memancarkan ketenangan sehingga siapapun yang menatapnya akan terpaku tak berdaya seperti Abuya. Cukup lama Abuya memandangi perempuan itu hingga tak terasa perempuan itu berlalu dari hadapannya.
Setelah perempuan itu berlalu dari hadapannya, Abuyapun kembali kealam sadarnya. Hatinya kembali berkata “gila aku mimpi atau tidak bertemu dengannya”. Abuya pun menyimpan rasa yang begitu dalam dan dia berniat harus mengetahui siapa namanya, dan berusaha untuk mendapatkannya.
Di ruangan senat para panitia sedang asyik dengan kesibukan masing-masing, ada yang menyiapkan berkas, ngetik surat, menyiapkan konsumsi, bahkan ada juga yang ketiduran karena kelelahan menyiapkan semuanya. Sedangkan di ruangan rapat peserta sedang menerima materi dari pembicara yang lain.
Dengan gaya khasnya Abuya menyapa semua panitia yang dan langsung di sambut antusias oleh semua panitia maklum dia seorang yang berpengaruh di kalangan aktifis kampus. Seraya menunggu giliran menjadi pembicara mereka pun bergabung dan tenggelam dalam kesibukan bersama komunitas intelektual itu.
***
Marsya, wanita indo blesteran Belanda dan Banjar yang berumur 20 tahunan, berperawakan tinggi semampai, berkulit kuning langsat, bulu mata lentik dan memiliki ciri khas poni yang keluar dari jilbabnya. (Gaya ini lagi trend di kampus saya bu!!!!)
Dulu Marsya memiliki kekasih hati yang bernama Rendy, namun sekitar satu tahun yang lalu Rendy meninggal dunia ketika kecelakaan saat balapan liar, semenjak kepergian Rendy, Marsya telah menutup rapat-rapat pintu hatinya untuk laki-laki lain, banyak sudah para pemuja cinta mencoba menawarkankan sejuta asa dan berharap mampu membuka gembok hatinya namun tak ada satupun yang berhasil membuka gembok itu. Dia bertekad pintu hatinya hanya dapat di buka oleh orang yang benar-benar halal menjadi kekasihnya kelak.
Namun keragu-raguan mulai bersarang di hatinya dalam benaknya selalu muncul pertanyaan yang membelenggu pendiriannya “apakah dia mampu untuk menjalani hari-hari sunyinya, saat sedih siapa yang akan menghiburnya, saat terjatuh siapa yang bakal membangunkannya, pada siapa dia akan bersandar ketika lelah, pada siapa dia mengadu saat ada masalah?”.
Di tepisnya keraguan itu dengan mengingat pesan orang tuanya saat dia mau berangkat studi ke kota seribu sungai. ”dengar lah anakku ada orang yang menyayangi mu tapi bukan kekasih mu, mereka perhatian pada kamu tapi bukan dari keluarga mu, mereka siap berbagi sakit tapi mereka tak berhubungan darah dengan mu, mereka adalah sahabat, maka itu anak ku carilah sehabat sebanyak-banyaknya!!!. Karena sahabat sejati marah bila kau salah seperti ayah, peduli seperti ibu, perhatian seperti kakak, mengesalkan seperti adik, maka orang bijak selalu memenuhi kehidupannya dengan persahabatan!.”. pesan itulah yang membuatnya tegar dalam menjalani hari-hari yang kelam.
Sebagai mahasiswa baru Marsya melewati hari-harinya dikampus dengan berjalan-jalan mengelilingi kampus. Agar Marsya lebih mengenal seluk beluk tempat kuliahnya, Marsya mengelilingi tak sendirian dia bersama personel “Kucau’’ lainnya. “Kucau” adalah nama geng Marsya dan teman-temannya yang personelnya terdiri dari Nida, Lia, dan Dita. Kucau kepenjangan dari kucing hijau, karena semua personel ini memiliki bintang peliharaan kucing dan warna favorit mereka adalah hijau selain itu juga mereka berasal dari daerah aliran sungai barito dan sekolah yang sama. Genk ini terbentuk tiga tahun silam saat mereka sama-sama memasuki sekolah tingkat atas, karena kegemaran dan hobby mereka yang sama maka terikrarlah sebuah kesepakatan untuk membentuk geng.
Setelah puas berkeliling geng “kucau” pun menuju cafeteria kampus untuk melepas lelah dan sekedar mengisi tenggorokan yang kering kelontang. Mereka asyik bercanda ria sesekali terdengar riuh gelak tawa mereka.
Di tengah bercanda ria tak sengaja mata Marsya menangkap dua sosok pemuda menuju cafeteria dari kejauhan, sejenak Marsya tertegun karena salah satu pemuda itu memiliki fisik yang sama dengan Rendy mantan kekasihnya yang telah menutup mata dari pustor tubuhnya hingga gaya jalannya yang gagah perkasa laksana gatot kaca dalam tokoh pewayangan. “hey! Apa yang kau lamunankan?” tegur Nida salah satu personel genk “Kucau” terkenal agak centil dan bawel. “Kalian liat dua pemuda yang sedang berjalan kearah cafeteria ini?”. Jawab Marsya.
“yang mana, yang gemuk-gemuk itu ya?” kata Lia yang terkenal biang gosip.“ Lia seraya mengamati dua pemuda yang begitu gagah perkasa apalagi kalau di masukkan dalam karung beras, “nggak baik ngataen orang! Apa Benar yang itu sya?” tukas Dita ikut bicara. Gadis ini tutur bahasanya lemah lembut namun kental dengan bahasa daerahnya kebalikan dari Lia dan Nida yang agak bawel. “iya mereka itu!” jawaba Marsya. “ada apa dengan mereka sya?” Tanya Lia penasaran. “coba kalian perhatikan pemuda yang memakai jaket cokelat itu, dia mirip sekali dengan Rendy. Cara berpakainnya, jalannya, bahkan wajahnya pun mirip sekali dengan Rendy!”. Jawab Marsya lunglai. “sudah lah sya, itu mungkin hanya perasaan kamu saja. kami tau kamu sangat mencintai Rendy tapi Rendy sudah tiada, biarkan dia tenang di alam sana,” Dita member nasehat pada Marsya. “iya sya, kami turut perihatin akan kisah cintamu, sekarang lebih baik kita senang-senang iyakan cin!!” Nida juga ikut beri nasehat.
Mereka kembali tenggelam dalam canda dan riuh gelak tawa mereka pun kembali menggelegar di seluruh ruangan cafeteria. Namun diam-diam Marsya terus memperhatikan pemuda tadi hingga tak terasa waktu berlalu, tanpa terasa jam cafeteria sudah menunjukkan 11.00 wita, mereka pun beranjak pergi dari cafeteria menuju ruang perkuliahan yang terletak di ujung fakultas untuk mengikuti perkuliahan berikutnya.
Ketika berjalan di depan meja pemuda itu mata Marsya terus melirik halus dan dalam seraya tanpa sepengetahuan siapa pun, bahkan pemuda itu pun tak tahu padahal pemuda itu juga memperhatikan Marsya sedari tadi.
***
Shinta, wanita yang memakai jilbab besar dan pakaian lebar yang selalu menutupi seluruh tubuhnya memiliki perawakan mungil dan imut kulitnya yang putih dan memiliki mata sipit serta bibir tipis. mengingatkan pada sosok bidadari surga yang dijanjikan tuhan bagi orang yang memandangnya. Ternyata diam-diam sudah lama mengagumi Abuya sejak pertama kali mengenal pemuda itu. Perkenalan yang singkat namun berbekas di dalam hatinya. Perkenalan sekitar 6 bulan yang lewat itu diawali ketika Abuya menjadi pembicara pada diskusi pinggiran dimana Shinta menjadi ketua pelaksana pada kegiatan itu, setelah bertukaran nomer handphone. Komunikasi pun terjalin erat dan kuat, Shinta sering curhat dari masalah organisasi sampai masalah pribadi.
Nasehat-nasehat Abuya sangat mudah di cerna oleh nalar logis Shinta, cara penyampaian Abuya pun begitu halus dan lembut serta bijaksana, perhatian pemuda itu pun begitu besar kepadanya. Sehingga Shinta merasa nyaman dengan pemuda itu.
Hasrat Shinta begitu besar untuk memiliki Abuya, apapun selalu di lakukannya untuk menarik simpati pemuda itu, terkadang dia begitu cemburu ketika melihat Abuya dengan wanita lain meski itu hanya teman dekat Abuya atau adik-adik joniurnya. Mungkin bagi Abuya mungkin Shinta hanya dunia tapi baginya Abuya adalah Dunianya.
Shinta tak berani mengutarakan perasaannya karena dia mempunyai prinsip lelaki lah yang harus mengutarakan dan menjemput pasangannya terlebih dahulu bukan wanita yang harus mengutarakan perasaannya. Namun prinsip ini malah membelenggu dirinya dalam sebuah permainan intuisi hati.
Jam menunjukkan 02.00 wita Shinta bergegas bangun dari peraduannya jalannya terkadang tersiuk-tersiuk dan pandangan nanar menuju kamar mandi karena kantuk, namun dia terus berjalan memantapkan hati untuk mengambil air wudhu, setelah mencuci muka dan menggosok gigi Shinta pun mengambil air wudhu pertama di awali dengan membasuh muka, kemudian kedua tangan, rambut, telinga terakhir membasuh kaki di resapinya setiap siraman air yang mengalir ke bagian tubuhnya.
Kebiasaan Shinta di perempat malam adalah melakukan shalat malam, dalam do’anya tersirat nama Abuya. Dititipkan cinta dan rindunya pada sang pencipta hati, dia terus meminta dan mengemis pada sang pembolak-balik hati agar Abuya terbuka dan mau mengutarakan cinta padanya dan dia meminta agar Abuya tercipta hanya untuknya meski dia sadar bahwa dirinya terlalu egois untuk memiliki Abuya namun dia tak tahu lagi pada siapa dia harus meminta selain kepada yang maha kuasa.
“ya rabb, cinta dan rindu ini terlalu besar hingga tak sanggup hamba bendung, hamba hanya makhluk lemah yang tak berdaya oleh cinta, jika hamba memang tercipta dari tulang rusuk Abuya, satukan ya Allah, jangan pisahkan kami, tapi jika hamba bukan miliknya segera jauhkan. Agar hamba tak lagi mengataskan cinta di atas cinta MU ya rabb!!! Hamba titipkan cinta rindu di dada ini pada Mu” pinta Shinta. Tak terasa butiran-butiran bening mengalir melewati pipinya dan mulai jatuh berkeping-keping menyentuh sajadah merah yang di berikan ibunya. Selain berdo’a untuk Abuya tak lupa juga iya mendo’akan orang tuanya yang begitu ia sayangi.
***
(bersambung.....................................)
»» Baca Sabigian...
Jam sudah menunjukkan jam 02.00 wita Abuya belum bisa memejamkan matanya, hampir sebulan sudah insomnia menyerangnya. Sudah beberapakali Abuya mencoba mengistirahatkan tubuhnya yang sudah nampak lemah. Tapi, matanya tetap tak mau diajak kompromi dia terus terjaga. Abuyapun mencoba melakukan hal-hal yang menurut riset bisa membuat ngantuk dari membaca buku sampai melakukan olahraga malam tapi kantuk itu tak jua kunjung datang, matanya terus melek seperti mercusuar yang terus menerangi pesisir pantai.
Sekitar jam 03.00 wita Abuya pun mulai didera rasa kantuk, dia mulai memejamkan mata dan berharap dapat istirahat, selang beberapa menit dia pun terlelap dalam selimut malam. Sosok perempuan itu datang lagi dalam mimpinya, seperti hari-hari sebelumnya ketika Abuya mulai tertidur, sosok bidadari malam itupun muncul dan mengajak Abuya berfantasi dengan gairah memuja serta mendamba di alam angan dan khayal, tak henti-henti ia memberikan semua impian yang tertancap dalam di relung hati yang selama ini kosong. Khayal pun terus menerawang jauh bersamanya, melintasi nirwana memadu kasih yang selama ini terpendam dalam. Tiba-tiba mimpi itu hilang bersama gema suara adzan yang membahana menggetarkan semesta raya, Abuya pun segera bangkit dan menunaikan kewajiban menghadap sang khaliq.
Pagi ini terasa sejuk, butiran-butiran bening menetes dari dedaunan yang mendendangkan syair-syair keindahan duniawi, kebiasaan Abuya di pagi hari duduk di kursi beranda kost ditemani secangkir kopi panas dan koran untuk sekedar menikmati keindahan pagi, selang beberapa saat Abuya mulai terpaku dalam dekapan kebingungan akan mimpi-mimpinya belakangan ini, sosok perempuan itu yang mulai bersarang di benaknya. “Siapa dia?” Tanya Abuya dalam batin. ”Mungkinkah dia adalah bidadari yang diciptakan tuhan buatku? Atau hanya bunga tidur dan rayuan syetan agar ku terus terlelap dalam buaian malam?”.
Pertanyaan itu terus menggerogoti otaknya hingga Abuya pun tak sadar kalau matahari sudah mulai menampakkan keperkasaannya, cahaya tajamnya mulai menyilaukan mata. Dilliriknya jam tangan dimana jarum pendeknya sudah menunjukkan angkanya 08.30 wita “sudah siang” gumamnya, perlahan Abuya beranjak menuju kamar untuk bersiap-siap menghadiri pelatihan wira usaha muda yang diadakan oleh senat di fakultas, kebetulan Abuya dan sahabat terbaiknya Zaid menjadi pembicara pada kegitan tersebut. Zaid adalah sahabat karib bahkan bisa dibilang saudara di kota ini, mereka berteman dan mengikrarkan persaudaraan sejak pertama kali melangkahkan kaki di perguruan tinggi, mereka satu fakultas namun beda jurusan, dimana ada Abuya disitu ada Zaid, begitu juga sebaliknya. Orang-orang sering menyebut mereka si kembar di belah kampak hohoho
Selang 15 menit Abuya pun sudah siap dengan style mirip pejabat kantoran, memakai jaket cokelat model jas kesayangan serta gaya rambut disisir kesamping kanan, ditatapnya cermin yang ada di kamar itu sembari tersenyum, “ya… aku sadar ternyata gaya ku agak nyentrik juga? hehe. Daripada pake gamis, kepala plontos, pake kacamata item? Syeikh Pudji dong! Bangeeeet…”
Abuya bergegas menuju ruang tamu, duduk di kursi untuk memasang kaos kaki lusuh yang sudah satu semester tidak dicuci. Disempatkannya menyeruput sesuap mie kuah yang terhidang di meja. Tiba-tiba Abuya dikagetkan sebuah suara pekikan dari dapur. “Abang! Mie punya ku itu!!!” Ternyata Ifat. Dia pun tertawa geli. “baru sedikit, tu kuahnya masih banyak”. Ifat tersenyum sambil menghirup teh yang tadi dibawanya dari dapur.
“Rapi adul Bang?” Ifat memandangi detail tubuh Abuya dari ujung celana sampai ujung kerah. “Adul dibawa-bawa, komeng, olga ma luna nggak ikut??? ajak aja sekalian biar rame”, Abuya berujar menyambung candanya.
“Gokil loe bang! Gue suk suk suk suka gaya loe!!!” Oceh Ifat dengan gaya rapper khasnya, Ifat emang tergolong anak yang gaulisme apa-apa selalu bergaya rapper, berbeda dengan kakaknya si Zaid yang agak pendiam dan terkesan agak jadul.
“Dasar balita! Hehe. Fat, abang berangkat dulu! Ntar kalau ada yang cari sebelum kamu berangkat bilang abang lagi di kampus ada acara”. “oke lah kalau beg beg beg begitu!!!” jawabnya. “Mana si om Zaid???” Abuya bertanya, “masih diatas bang! Biasalah, telponan ma ka Laila tunangannya!”. ”tolong panggilkan geh???” pinta Abuya, “siap, komandan!!!”Jawab Ifat. Bibirku pun tak henti-hentinya menyunggingkan senyum karena ulahnya. Mata Abuya terus memandang lekat kearah Ifat yang mulai berlalu dari hadapannya menaiki tangga setapak demi setapak dengan sigap untuk memanggil Zaid di tingkat dua. Kost Abuya memang bertingkat dua dengan berkonstruksi dasar kayu ulin, di kota Abuya tinggal rata-rata rumah berkonstruksi kan dari bahan kayu ulin namun sekarang kayu ini termasuk langka karena pembalakan liar.
Kost terasa bergetar, sinyal bahwa Zaid keluar dari kamarnya. Maklum tubuhnya gempal bak petinju kelas beraaat buanget. terdengar hentakan kaki menuruni tangga diiringi lantunan syair lagu Laila canggung.
“Cieeee, bahagia terus nih…” Ku goda dia. “Ya iyalah, ada apaan Bah?” Ujar Zaid. Begitulah sapaan akrab Abuya. Di Kost dia biasa dipanggil dengan sebutan Abah. Sebutan itu di karenakan Abuya menjadi kepala keluarga di kost ini, semua yang berkenaan dengan kemaslahatan umat kost dialah yang mengatur dari keuangan hingga urusan dapur. “Kayanya penting banget? Mau bayar utang ya? Tidak usah difikirkan…hehe”. Canda Zaid.
“Utang dari Tiongkok? Hehe”. Ya, begitulah mereka. 90% omongan mereka tidak bisa serius. “Sudah siap belum?”. “Gila, mandi aja belum Bah…” Zaid menggaruk-garuk kepalanya dengan hp yang dari tadi digenggamnya. “Biasanya juga tak mandi, cepetan! Kita ditungguin anak-anak di kampus.” Desaknya. “Ya sudah, tunggu bentar ya mau cuci gigi dulu” Zaid cengengesan sambil lari kebelakang.
Setelah Zaid selesai cuci gigi dan gosok muka, mereka pun berangkat ke kampus dengan menaiki motor New Ninja milik Zaid, motor pun melaju kencang sekitar sepuluh menit mereka pun sudah sampai di kampus.
Sebelum bergabung dengan panitia yang lain, mereka mampir dulu ke cafeteria untuk mengisi perut yang sedari tadi para penghuninya berdemo meminta nafkahnya. Mereka pun langsung memesan makanan dan minuman kegemaran mereka.
Selang beberapa saat makanan itupun datang Zaid langsung menyambar dan melahap makanannya tanpa menghiraukan orang di sekeliling. “di uber orang sekampung ya om, makannya ngga sabaran gitu???” celetuk Abuya. “he he he habis laper banget? Naga dalam perut ku ngga sabar lagi bah!!!”. Ujarnya. Abuya hanya bisa tersenyum melihat kelakuan sahabatnya, ketika sedang asyik makan tak sengaja matanya menangkap sesosok makhluk yang berada di salah satu meja di ujung sana, Abuya tertegun dan terpaku hingga tak bisa berbuat apa-apa “masya allah, maha sempurnanya tuhan menciptakan dia perempuan yang selama ini hadir dan menghantui malam-malamku” gumamnya. “ada apa bah?” Tanya Zaid yang tak begitu jelas mendengar gumamnya. “tak ada apa-apa”. Abuya berkilah. Diapun kembali mencuri pandang pada sosok perempuan diam-diam diperhatikannya tingkah polah perempuan itu, kedipan matanya yang begitu manja, cara berbicaranya yang lembut, gerak tubuhnya yang gemulai terlebih pada tatapan mata sang perempuan begitu tajam dan memancarkan ketenangan sehingga siapapun yang menatapnya akan terpaku tak berdaya seperti Abuya. Cukup lama Abuya memandangi perempuan itu hingga tak terasa perempuan itu berlalu dari hadapannya.
Setelah perempuan itu berlalu dari hadapannya, Abuyapun kembali kealam sadarnya. Hatinya kembali berkata “gila aku mimpi atau tidak bertemu dengannya”. Abuya pun menyimpan rasa yang begitu dalam dan dia berniat harus mengetahui siapa namanya, dan berusaha untuk mendapatkannya.
Di ruangan senat para panitia sedang asyik dengan kesibukan masing-masing, ada yang menyiapkan berkas, ngetik surat, menyiapkan konsumsi, bahkan ada juga yang ketiduran karena kelelahan menyiapkan semuanya. Sedangkan di ruangan rapat peserta sedang menerima materi dari pembicara yang lain.
Dengan gaya khasnya Abuya menyapa semua panitia yang dan langsung di sambut antusias oleh semua panitia maklum dia seorang yang berpengaruh di kalangan aktifis kampus. Seraya menunggu giliran menjadi pembicara mereka pun bergabung dan tenggelam dalam kesibukan bersama komunitas intelektual itu.
***
Marsya, wanita indo blesteran Belanda dan Banjar yang berumur 20 tahunan, berperawakan tinggi semampai, berkulit kuning langsat, bulu mata lentik dan memiliki ciri khas poni yang keluar dari jilbabnya. (Gaya ini lagi trend di kampus saya bu!!!!)
Dulu Marsya memiliki kekasih hati yang bernama Rendy, namun sekitar satu tahun yang lalu Rendy meninggal dunia ketika kecelakaan saat balapan liar, semenjak kepergian Rendy, Marsya telah menutup rapat-rapat pintu hatinya untuk laki-laki lain, banyak sudah para pemuja cinta mencoba menawarkankan sejuta asa dan berharap mampu membuka gembok hatinya namun tak ada satupun yang berhasil membuka gembok itu. Dia bertekad pintu hatinya hanya dapat di buka oleh orang yang benar-benar halal menjadi kekasihnya kelak.
Namun keragu-raguan mulai bersarang di hatinya dalam benaknya selalu muncul pertanyaan yang membelenggu pendiriannya “apakah dia mampu untuk menjalani hari-hari sunyinya, saat sedih siapa yang akan menghiburnya, saat terjatuh siapa yang bakal membangunkannya, pada siapa dia akan bersandar ketika lelah, pada siapa dia mengadu saat ada masalah?”.
Di tepisnya keraguan itu dengan mengingat pesan orang tuanya saat dia mau berangkat studi ke kota seribu sungai. ”dengar lah anakku ada orang yang menyayangi mu tapi bukan kekasih mu, mereka perhatian pada kamu tapi bukan dari keluarga mu, mereka siap berbagi sakit tapi mereka tak berhubungan darah dengan mu, mereka adalah sahabat, maka itu anak ku carilah sehabat sebanyak-banyaknya!!!. Karena sahabat sejati marah bila kau salah seperti ayah, peduli seperti ibu, perhatian seperti kakak, mengesalkan seperti adik, maka orang bijak selalu memenuhi kehidupannya dengan persahabatan!.”. pesan itulah yang membuatnya tegar dalam menjalani hari-hari yang kelam.
Sebagai mahasiswa baru Marsya melewati hari-harinya dikampus dengan berjalan-jalan mengelilingi kampus. Agar Marsya lebih mengenal seluk beluk tempat kuliahnya, Marsya mengelilingi tak sendirian dia bersama personel “Kucau’’ lainnya. “Kucau” adalah nama geng Marsya dan teman-temannya yang personelnya terdiri dari Nida, Lia, dan Dita. Kucau kepenjangan dari kucing hijau, karena semua personel ini memiliki bintang peliharaan kucing dan warna favorit mereka adalah hijau selain itu juga mereka berasal dari daerah aliran sungai barito dan sekolah yang sama. Genk ini terbentuk tiga tahun silam saat mereka sama-sama memasuki sekolah tingkat atas, karena kegemaran dan hobby mereka yang sama maka terikrarlah sebuah kesepakatan untuk membentuk geng.
Setelah puas berkeliling geng “kucau” pun menuju cafeteria kampus untuk melepas lelah dan sekedar mengisi tenggorokan yang kering kelontang. Mereka asyik bercanda ria sesekali terdengar riuh gelak tawa mereka.
Di tengah bercanda ria tak sengaja mata Marsya menangkap dua sosok pemuda menuju cafeteria dari kejauhan, sejenak Marsya tertegun karena salah satu pemuda itu memiliki fisik yang sama dengan Rendy mantan kekasihnya yang telah menutup mata dari pustor tubuhnya hingga gaya jalannya yang gagah perkasa laksana gatot kaca dalam tokoh pewayangan. “hey! Apa yang kau lamunankan?” tegur Nida salah satu personel genk “Kucau” terkenal agak centil dan bawel. “Kalian liat dua pemuda yang sedang berjalan kearah cafeteria ini?”. Jawab Marsya.
“yang mana, yang gemuk-gemuk itu ya?” kata Lia yang terkenal biang gosip.“ Lia seraya mengamati dua pemuda yang begitu gagah perkasa apalagi kalau di masukkan dalam karung beras, “nggak baik ngataen orang! Apa Benar yang itu sya?” tukas Dita ikut bicara. Gadis ini tutur bahasanya lemah lembut namun kental dengan bahasa daerahnya kebalikan dari Lia dan Nida yang agak bawel. “iya mereka itu!” jawaba Marsya. “ada apa dengan mereka sya?” Tanya Lia penasaran. “coba kalian perhatikan pemuda yang memakai jaket cokelat itu, dia mirip sekali dengan Rendy. Cara berpakainnya, jalannya, bahkan wajahnya pun mirip sekali dengan Rendy!”. Jawab Marsya lunglai. “sudah lah sya, itu mungkin hanya perasaan kamu saja. kami tau kamu sangat mencintai Rendy tapi Rendy sudah tiada, biarkan dia tenang di alam sana,” Dita member nasehat pada Marsya. “iya sya, kami turut perihatin akan kisah cintamu, sekarang lebih baik kita senang-senang iyakan cin!!” Nida juga ikut beri nasehat.
Mereka kembali tenggelam dalam canda dan riuh gelak tawa mereka pun kembali menggelegar di seluruh ruangan cafeteria. Namun diam-diam Marsya terus memperhatikan pemuda tadi hingga tak terasa waktu berlalu, tanpa terasa jam cafeteria sudah menunjukkan 11.00 wita, mereka pun beranjak pergi dari cafeteria menuju ruang perkuliahan yang terletak di ujung fakultas untuk mengikuti perkuliahan berikutnya.
Ketika berjalan di depan meja pemuda itu mata Marsya terus melirik halus dan dalam seraya tanpa sepengetahuan siapa pun, bahkan pemuda itu pun tak tahu padahal pemuda itu juga memperhatikan Marsya sedari tadi.
***
Shinta, wanita yang memakai jilbab besar dan pakaian lebar yang selalu menutupi seluruh tubuhnya memiliki perawakan mungil dan imut kulitnya yang putih dan memiliki mata sipit serta bibir tipis. mengingatkan pada sosok bidadari surga yang dijanjikan tuhan bagi orang yang memandangnya. Ternyata diam-diam sudah lama mengagumi Abuya sejak pertama kali mengenal pemuda itu. Perkenalan yang singkat namun berbekas di dalam hatinya. Perkenalan sekitar 6 bulan yang lewat itu diawali ketika Abuya menjadi pembicara pada diskusi pinggiran dimana Shinta menjadi ketua pelaksana pada kegiatan itu, setelah bertukaran nomer handphone. Komunikasi pun terjalin erat dan kuat, Shinta sering curhat dari masalah organisasi sampai masalah pribadi.
Nasehat-nasehat Abuya sangat mudah di cerna oleh nalar logis Shinta, cara penyampaian Abuya pun begitu halus dan lembut serta bijaksana, perhatian pemuda itu pun begitu besar kepadanya. Sehingga Shinta merasa nyaman dengan pemuda itu.
Hasrat Shinta begitu besar untuk memiliki Abuya, apapun selalu di lakukannya untuk menarik simpati pemuda itu, terkadang dia begitu cemburu ketika melihat Abuya dengan wanita lain meski itu hanya teman dekat Abuya atau adik-adik joniurnya. Mungkin bagi Abuya mungkin Shinta hanya dunia tapi baginya Abuya adalah Dunianya.
Shinta tak berani mengutarakan perasaannya karena dia mempunyai prinsip lelaki lah yang harus mengutarakan dan menjemput pasangannya terlebih dahulu bukan wanita yang harus mengutarakan perasaannya. Namun prinsip ini malah membelenggu dirinya dalam sebuah permainan intuisi hati.
Jam menunjukkan 02.00 wita Shinta bergegas bangun dari peraduannya jalannya terkadang tersiuk-tersiuk dan pandangan nanar menuju kamar mandi karena kantuk, namun dia terus berjalan memantapkan hati untuk mengambil air wudhu, setelah mencuci muka dan menggosok gigi Shinta pun mengambil air wudhu pertama di awali dengan membasuh muka, kemudian kedua tangan, rambut, telinga terakhir membasuh kaki di resapinya setiap siraman air yang mengalir ke bagian tubuhnya.
Kebiasaan Shinta di perempat malam adalah melakukan shalat malam, dalam do’anya tersirat nama Abuya. Dititipkan cinta dan rindunya pada sang pencipta hati, dia terus meminta dan mengemis pada sang pembolak-balik hati agar Abuya terbuka dan mau mengutarakan cinta padanya dan dia meminta agar Abuya tercipta hanya untuknya meski dia sadar bahwa dirinya terlalu egois untuk memiliki Abuya namun dia tak tahu lagi pada siapa dia harus meminta selain kepada yang maha kuasa.
“ya rabb, cinta dan rindu ini terlalu besar hingga tak sanggup hamba bendung, hamba hanya makhluk lemah yang tak berdaya oleh cinta, jika hamba memang tercipta dari tulang rusuk Abuya, satukan ya Allah, jangan pisahkan kami, tapi jika hamba bukan miliknya segera jauhkan. Agar hamba tak lagi mengataskan cinta di atas cinta MU ya rabb!!! Hamba titipkan cinta rindu di dada ini pada Mu” pinta Shinta. Tak terasa butiran-butiran bening mengalir melewati pipinya dan mulai jatuh berkeping-keping menyentuh sajadah merah yang di berikan ibunya. Selain berdo’a untuk Abuya tak lupa juga iya mendo’akan orang tuanya yang begitu ia sayangi.
***
(bersambung.....................................)